Pagi itu, bulan belum sempurna
meninggalkan malam. Biasnya masih terpantul diujung-ujung dinding luar rumah.
Membentuk siluet berbayang yang memunculkan ilusi seorang tokoh dari negeri
dongeng. membuat angan Vera terbang melayang ke puluhan tahun yang lalu, saat
seorang perempuan datang dan menangis dipelukan ibunya. Wajahnya mewakili
bidadari dari negeri dongeng, tapi raut wajahnya mewakili bidadari yang tengah
terusir dari kayangan. Putus asa dan tak pernah terbayangkan akan menjelma menjadi
bidadari cantik lagi. Vera mencuri-curi pandang kearahnya, setengah iri karena
merenggut mama dari kehidupannya. Sejak pagi dimasa lalu itu dan hingga puluhan
tahun kemudian berlalu..
Embun diujung daun mulai menguap,
tampak menderita karena bias mentari mulai garang mentasbihkan diri untuk
terbit dan bersinar. Embun mengering dan memberikan jalan bagi zat hijau
daun berklorofil untuk melakukan
rutinitas mulianya, fotosintesis. Disaat yang sama, Vera tersadar untuk kembali
memulai rutinitas hariannya dan melupakan semua yang pernah diingatnya..Semua...
***********
“Pagi,
Andrea..,” suara lembut menyapa
begitu Andrea keluar dari kamar
mandi.
“Pagi..Sisca, nyenyakkah tidurmu semalam???” jawab Andrea
sambil terus mengeringkan rambut dengan handuk.
“Nyenyak
sekali,” jawabnya pendek.
“Tidak
adakah mimpi buruk yang mengganggu tidurmu?”
“Tidak ada. Karena
mereka takut, akan ada ksatria elang yang akan membunuh mereka jika mereka
menggangguku,” katanya sambil memejamkan mata kembali diatas tempat tidur.
“Syukurlah..”
jawab Andrea lirih. Melihat Sisca tidur ketika pertama kali datang ke
apartement Andrea seminggu yang lalu membuat Andrea miris. Tidurnya selalu
dihiasi mimpi buruk, jeritan panjang diakhiri dengan tangis histeris mengakhiri
tiap session mimpi buruknya.
Dengan langkah kecil Andrea melangkah menuju tempat
tidur. Memandangi Sisca tidur di tempat tidurnya membawa angannya melayang jauh
ke masa lalu. Ketika dia dan Sisca masih sama-sama kuliah di Perguruan Tinggi
yang sama. Hidup bersama satu kost dan akhirnya “jalan” bersama. Lalu beberapa
tahun setelah itu, tante Ira, mama Sisca datang dan merenggut paksa Sisca dari
tangannya.
“Aku
harus menikah dengan calon yang telah dipersiapkan mama. Papa berencana akan
memasukkan aku menjadi Pegawai Negeri Sipil. Dia punya power untuk itu. Maafkan
aku Andrea..”
“Kau
lupa dengan janji kita?”
“Aku
tidak pernah lupa..”
“Lalu
kenapa kau akan pergi meninggalkan aku?”
“I
don’t have another choice, Andrea.. ini keputusan mutlak yang diberlakukan oleh
orangtuaku untuk hidupku..”
“Kau tidak perlu
orangtua, kau sudah dewasa Sisca. Yang kau perlukan hanya aku. Kita pasti kuat
jika bersama-sama,” suara Andrea makin keras. Terbayang sudah hari-hari yang
sunyi tanpa Sisca disampingnya.
“Tapi
apa yang kita lakukan memang sebuah kekeliruan Andrea.. kita hidup dalam mimpi.
Ketika kita bangun, kita dipaksa untuk melihat alam nyata lewat mata kita. Dan
benar apa kata orangtuaku. Kita salah Andrea,” tegas suara Sisca. Andrea hanya
bisa terdiam. Kata-kata itu sama sekali tak ingin didengarnya. KITA SALAH,
ANDREA…
Kata
itu pula yang menjadi awal untuk sebuah hidup mandiri yang didapatnya dengan
mengorbankan seluruh keluarganya. Karena kita tidak pernah salah.
Sisca membuka matanya
perlahan. Dia tahu, sepasang mata tengah mengawasinya. Sepasang mata yang
didalamnya ada keteduhan yang selalu dirindukannya. Sepasang mata yang bisa
menyelimuti hatinya dengan kehangatan yang tidak pernah habis. Sepasang mata
tempat melabuhkan penat karena mata itu seperti telaga yang nyaman untuk
direnangi.
“Andrea..”
panggil Sisca perlahan.
“Peluk aku,” pintanya
sepenuh hati. Andrea maju beringsut mendekati Sisca. Dipeluknya tubuh rapuh
yang dahulu sangat dirindukannya. Kini? Mungkin yang tersisa hanyalah rasa
kasihan dan sepotong ingatan masa lalu. Juga sedikit nafsu. Tubuh Sisca masih
semolek ketika pertama kali mereka berkenalan. Kulit putihnya masih memancarkan
sinar pualam. Dan matanya, seperti mengundang setiap orang untuk datang dan
melindungi mata itu dari tangis.
“Aku kangen. Dengan
kamu, dengan bau tubuhmu, dengan semua masa lalu kita”
“Bagaimana dengan
suamimu?”
“Dia tinggalkan aku,
tinggalkan Naya anakku, dan memilih pergi dengan perempuan sundal yang mau
ditidurinya,”
“Memangnya kau tidak
pernah mau ditidurinya?”
“Bagaimana mungkin?
Setiap kali tubuhnya menyatu dengan tubuhku, yang aku ingat hanya kamu, And.
Aku membayangkan, yang ada diatasku adalah kamu...” lirih suara Sisca. Andrea
menarik nafasnya. Entah bermakna apa? Senang? Atau sedih? Andrea sendiri tidak
pernah tahu.
“Delapan tahun aku
mencoba melupakanmu. Delapan tahun yang menyiksa diri, hati, dan perasaanku.
Sampai akhirnya aku sadar bahwa aku begitu merindukanmu,” kata Sisca sambil
merebahkan kepalanya diatas pangkuan Andea. Begitu dekat hingga Andrea bisa
mencium wangi rambutnya yang terurai. Jemari Andrea menyapu wajah Sisca,
membelai rambut dengan penuh perasaan dan rindu yang tertahan.
Benarkan? Masih adakah
rindu terbentang diantaranya dan Sisca? Bukankan sudah ada orang lain yang
memutus tali rindu itu? Seorang perempuan rapuh yang selalu mencari kehangatan
lewat teduh matanya? Seorang perempuan yang mengenalkannya akan arti
tanggungjawab, cinta, airmata, dan indahnya hidup? Seorang perempuan yang tidak
mendapatkan kasih sayang seorang ibu hanya karena ibunya sibuk dengan
perempuan lain? Seorang ibu yang pada
akhirnya mewarisi kecenderungan seksual yang tidak lazim hanya karena berlatar
haus kasih sayang seorang ibu? Perempuan bernama Vera , yang berhasil membuat
hidupnya kembali berpelangi setelah kepergian Sisca?
“Aku membutuhkanmu, And,
” lirih suara Sisca. “Bukan sebagai kstaria elang yang akan menebas setiap
musuh yang datang lewat mimpiku, tapi sebagai orang yang aku sayang di dunia
nyata. Aku ingin pertama kali membuka mata, disampingku hanya ada kamu dan
Naya. Cuma itu…”
Kata-kata
Sisca seperti menyihir Andrea. Atau mungkin, jauh dialam bawah sadarnya dia
menunggu saat-saat ketika Sisca mengakui eksistensinya dengan kejujuran yang
hakiki. Andrea memandang mata Sisca lekat-lekat, seakan mencari kebenaran
didalam sana .
Lalu entah siapa yang mengomando, keduanya lantas saling membelai dan
memagut. Dua anak manusia yang kembali
dipersatukan oleh kekuatan maha dahsyat bernama cinta…
“Surprised…,” teriak
Vera sambil membuka pintu apartemen Andrea. Detik itu juga dia terhenyak.
Didepannya Andrea dan Sisca tengah bergulat diatas sofa kesayangan Vera, tempat
dimana dia melepaskan penat sambil bersandar di dada Andrea.
Angan
Vera terbang melayang ke puluhan tahun yang lalu, saat seorang perempuan datang
dan menangis dipelukan ibunya. Wajahnya mewakili bidadari dari negeri dongeng,
tapi raut wajahnya mewakili bidadari yang tengah terusir dari kayangan. Putus
asa dan tak pernah terbayangkan akan menjelma menjadi bidadari cantik lagi.
Vera mencuri-curi pandang kearahnya, setengah iri karena merenggut mama dari
kehidupannya. Sejak pagi dimasa lalu itu dan hingga puluhan tahun kemudian
berlalu.
Bidadari cantik itu
memang nakal, dia selalu mencuri milik Vera yang paling berharga. Dulu Mama,
dan kini Andrea. Padahal dia sudah mendapatkan apa yang tidak diberikan mama
kepadanya lewat Andrea. Tapi mimpi begitu cepat berakhir karena terusir pagi
yang datang tiba-tiba.
“Lalu kemanakah rindu
dan dendam ini akan kulabuhkan, jika bidadari yang sama telah merenggut
kebahagiaanku?,” suara Vera seperti menembus isi kepala Andrea telak-telak.
Membuat Andrea tersadar, bahwa detik dimana Vera melihat kebersamaannya bersama
Sisca maka pada saat yang sama, ia telah menyakiti seorang perempuan. Dan perempuan itu adalah
Vera.
“Maafkan aku, Vera,”
bisik Andrea lirih sambil menatap kepergian Vera, kebimbangan kentara sekali
terlukis diwajahnya. Diujung sofa, Sisca tergugu. Diam menahan tangis.
“Susul dia, And,”
perintah Sisca tegas. Andrea memalingkan wajahnya dan menatap Sisca.
“Tapi…,” suara Andrea
tercekat.
“Jangan khawatirkan aku.
Kita sudah cukup matang. Tapi dia?? Dia membutuhkanmu And. Susul dia
sebelum pergi jauh. Terangkan apa yang sudah terjadi. Kita hanya bernostalgia
khan? Hanya pesona sesaat karena kita hanyut oleh masa lalu. Susul dia, And,”
Sisca menegaskan kembali kata-katanya.
Andrea melesat pergi
dengan cepat. Sisca menarik nafas
panjang dan mengernyitkan dahinya. Ada
perasaan pedih yang tidak terjabarkan melalui kata-kata dan aksara. Dia
kehilangan Andrea untuk kedua kalinya.
“Tuhan, mengapa cinta begitu membingungkan?
Satu windu aku merindukannya, kini setelah dia aku dapatkan lagi, lalu aku
membiarkannya kembali pergi,” bisik Sisca lirih sambil menyesap pelan
airmatanya. Air mata yang sama ketika dia pergi meninggalkan Andrea satu windu
yang lalu. (**)