Rabu, 12 Desember 2012

Embun di Ujung Daun


Pagi itu, bulan belum sempurna meninggalkan malam. Biasnya masih terpantul diujung-ujung dinding luar rumah. Membentuk siluet berbayang yang memunculkan ilusi seorang tokoh dari negeri dongeng. membuat angan Vera terbang melayang ke puluhan tahun yang lalu, saat seorang perempuan datang dan menangis dipelukan ibunya. Wajahnya mewakili bidadari dari negeri dongeng, tapi raut wajahnya mewakili bidadari yang tengah terusir dari kayangan. Putus asa dan tak pernah terbayangkan akan menjelma menjadi bidadari cantik lagi. Vera mencuri-curi pandang kearahnya, setengah iri karena merenggut mama dari kehidupannya. Sejak pagi dimasa lalu itu dan hingga puluhan tahun kemudian berlalu..
Embun diujung daun mulai menguap, tampak menderita karena bias mentari mulai garang mentasbihkan diri untuk terbit dan bersinar. Embun mengering dan memberikan jalan bagi zat hijau daun  berklorofil untuk melakukan rutinitas mulianya, fotosintesis. Disaat yang sama, Vera tersadar untuk kembali memulai rutinitas hariannya dan melupakan semua yang pernah diingatnya..Semua...
***********
          “Pagi, Andrea..,” suara lembut menyapa  begitu  Andrea keluar dari kamar mandi.
          “Pagi..Sisca,  nyenyakkah tidurmu semalam???” jawab Andrea sambil terus mengeringkan rambut dengan handuk.
          “Nyenyak sekali,” jawabnya pendek.
          “Tidak adakah mimpi buruk yang mengganggu tidurmu?”
“Tidak ada. Karena mereka takut, akan ada ksatria elang yang akan membunuh mereka jika mereka menggangguku,” katanya sambil memejamkan mata kembali diatas tempat tidur.
          “Syukurlah..” jawab Andrea lirih. Melihat Sisca tidur ketika pertama kali datang ke apartement Andrea seminggu yang lalu membuat Andrea miris. Tidurnya selalu dihiasi mimpi buruk, jeritan panjang diakhiri dengan tangis histeris mengakhiri tiap session mimpi buruknya.
Dengan  langkah kecil Andrea melangkah menuju tempat tidur. Memandangi Sisca tidur di tempat tidurnya membawa angannya melayang jauh ke masa lalu. Ketika dia dan Sisca masih sama-sama kuliah di Perguruan Tinggi yang sama. Hidup bersama satu kost dan akhirnya “jalan” bersama. Lalu beberapa tahun setelah itu, tante Ira, mama Sisca datang dan merenggut paksa Sisca dari tangannya.
          “Aku harus menikah dengan calon yang telah dipersiapkan mama. Papa berencana akan memasukkan aku menjadi Pegawai Negeri Sipil. Dia punya power untuk itu. Maafkan aku Andrea..”
          “Kau lupa dengan janji kita?”
          “Aku tidak pernah lupa..”
          “Lalu kenapa kau akan pergi meninggalkan aku?”
          “I don’t have another choice, Andrea.. ini keputusan mutlak yang diberlakukan oleh orangtuaku untuk hidupku..”
“Kau tidak perlu orangtua, kau sudah dewasa Sisca. Yang kau perlukan hanya aku. Kita pasti kuat jika bersama-sama,” suara Andrea makin keras. Terbayang sudah hari-hari yang sunyi tanpa Sisca disampingnya.
          “Tapi apa yang kita lakukan memang sebuah kekeliruan Andrea.. kita hidup dalam mimpi. Ketika kita bangun, kita dipaksa untuk melihat alam nyata lewat mata kita. Dan benar apa kata orangtuaku. Kita salah Andrea,” tegas suara Sisca. Andrea hanya bisa terdiam. Kata-kata itu sama sekali tak ingin didengarnya. KITA SALAH, ANDREA…
Kata itu pula yang menjadi awal untuk sebuah hidup mandiri yang didapatnya dengan mengorbankan seluruh keluarganya. Karena kita tidak pernah salah.

Sisca membuka matanya perlahan. Dia tahu, sepasang mata tengah mengawasinya. Sepasang mata yang didalamnya ada keteduhan yang selalu dirindukannya. Sepasang mata yang bisa menyelimuti hatinya dengan kehangatan yang tidak pernah habis. Sepasang mata tempat melabuhkan penat karena mata itu seperti telaga yang nyaman untuk direnangi.
          “Andrea..” panggil Sisca perlahan.
“Peluk aku,” pintanya sepenuh hati. Andrea maju beringsut mendekati Sisca. Dipeluknya tubuh rapuh yang dahulu sangat dirindukannya. Kini? Mungkin yang tersisa hanyalah rasa kasihan dan sepotong ingatan masa lalu. Juga sedikit nafsu. Tubuh Sisca masih semolek ketika pertama kali mereka berkenalan. Kulit putihnya masih memancarkan sinar pualam. Dan matanya, seperti mengundang setiap orang untuk datang dan melindungi mata itu dari tangis.
“Aku kangen. Dengan kamu, dengan bau tubuhmu, dengan semua masa lalu kita”
“Bagaimana dengan suamimu?”
“Dia tinggalkan aku, tinggalkan Naya anakku, dan memilih pergi dengan perempuan sundal yang mau ditidurinya,”
“Memangnya kau tidak pernah mau ditidurinya?”
“Bagaimana mungkin? Setiap kali tubuhnya menyatu dengan tubuhku, yang aku ingat hanya kamu, And. Aku membayangkan, yang ada diatasku adalah kamu...” lirih suara Sisca. Andrea menarik nafasnya. Entah bermakna apa? Senang? Atau sedih? Andrea sendiri tidak pernah tahu.
“Delapan tahun aku mencoba melupakanmu. Delapan tahun yang menyiksa diri, hati, dan perasaanku. Sampai akhirnya aku sadar bahwa aku begitu merindukanmu,” kata Sisca sambil merebahkan kepalanya diatas pangkuan Andea. Begitu dekat hingga Andrea bisa mencium wangi rambutnya yang terurai. Jemari Andrea menyapu wajah Sisca, membelai rambut dengan penuh perasaan dan rindu yang tertahan.
Benarkan? Masih adakah rindu terbentang diantaranya dan Sisca? Bukankan sudah ada orang lain yang memutus tali rindu itu? Seorang perempuan rapuh yang selalu mencari kehangatan lewat teduh matanya? Seorang perempuan yang mengenalkannya akan arti tanggungjawab, cinta, airmata, dan indahnya hidup? Seorang perempuan yang tidak mendapatkan kasih sayang seorang ibu hanya karena ibunya sibuk dengan perempuan  lain? Seorang ibu yang pada akhirnya mewarisi kecenderungan seksual yang tidak lazim hanya karena berlatar haus kasih sayang seorang ibu? Perempuan bernama Vera , yang berhasil membuat hidupnya kembali berpelangi setelah kepergian Sisca?
“Aku membutuhkanmu, And, ” lirih suara Sisca. “Bukan sebagai kstaria elang yang akan menebas setiap musuh yang datang lewat mimpiku, tapi sebagai orang yang aku sayang di dunia nyata. Aku ingin pertama kali membuka mata, disampingku hanya ada kamu dan Naya. Cuma itu…”
Kata-kata Sisca seperti menyihir Andrea. Atau mungkin, jauh dialam bawah sadarnya dia menunggu saat-saat ketika Sisca mengakui eksistensinya dengan kejujuran yang hakiki. Andrea memandang mata Sisca lekat-lekat, seakan mencari kebenaran didalam sana. Lalu entah siapa yang mengomando, keduanya lantas saling membelai dan memagut.  Dua anak manusia yang kembali dipersatukan oleh kekuatan maha dahsyat bernama cinta

“Surprised…,” teriak Vera sambil membuka pintu apartemen Andrea. Detik itu juga dia terhenyak. Didepannya Andrea dan Sisca tengah bergulat diatas sofa kesayangan Vera, tempat dimana dia melepaskan penat sambil bersandar di dada Andrea.
Angan Vera terbang melayang ke puluhan tahun yang lalu, saat seorang perempuan datang dan menangis dipelukan ibunya. Wajahnya mewakili bidadari dari negeri dongeng, tapi raut wajahnya mewakili bidadari yang tengah terusir dari kayangan. Putus asa dan tak pernah terbayangkan akan menjelma menjadi bidadari cantik lagi. Vera mencuri-curi pandang kearahnya, setengah iri karena merenggut mama dari kehidupannya. Sejak pagi dimasa lalu itu dan hingga puluhan tahun kemudian berlalu.
Bidadari cantik itu memang nakal, dia selalu mencuri milik Vera yang paling berharga. Dulu Mama, dan kini Andrea. Padahal dia sudah   mendapatkan apa yang tidak diberikan mama kepadanya lewat Andrea. Tapi mimpi begitu cepat berakhir karena terusir pagi yang datang tiba-tiba.
“Lalu kemanakah rindu dan dendam ini akan kulabuhkan, jika bidadari yang sama telah merenggut kebahagiaanku?,” suara Vera seperti menembus isi kepala Andrea telak-telak. Membuat Andrea tersadar, bahwa detik dimana Vera melihat kebersamaannya bersama Sisca maka pada saat yang sama, ia telah menyakiti  seorang perempuan. Dan perempuan itu adalah Vera.
“Maafkan aku, Vera,” bisik Andrea lirih sambil menatap kepergian Vera, kebimbangan kentara sekali terlukis diwajahnya. Diujung sofa, Sisca tergugu. Diam menahan tangis.
“Susul dia, And,” perintah Sisca tegas. Andrea memalingkan wajahnya dan menatap Sisca.
“Tapi…,” suara Andrea tercekat.
“Jangan khawatirkan aku. Kita sudah cukup matang. Tapi dia?? Dia membutuhkanmu And. Susul dia sebelum pergi jauh. Terangkan apa yang sudah terjadi. Kita hanya bernostalgia khan? Hanya pesona sesaat karena kita hanyut oleh masa lalu. Susul dia, And,” Sisca menegaskan kembali kata-katanya.
Andrea melesat pergi dengan cepat.  Sisca menarik nafas panjang dan mengernyitkan dahinya. Ada perasaan pedih yang tidak terjabarkan melalui kata-kata dan aksara. Dia kehilangan Andrea untuk kedua kalinya.
 “Tuhan, mengapa cinta begitu membingungkan? Satu windu aku merindukannya, kini setelah dia aku dapatkan lagi, lalu aku membiarkannya kembali pergi,” bisik Sisca lirih sambil menyesap pelan airmatanya. Air mata yang sama ketika dia pergi meninggalkan Andrea satu windu yang lalu. (**)