Selasa, 07 Mei 2013

Menunggu

Seorang diri di ruangan kantor. Aku menunggu seorang tamu. Dia psikolog terkenal di kota ini. Kami memintanya bergabung untuk menjadi konselor tamu sekaligus memperkuat tim di human resourch department sebagai konsultan pemetaan arah karier bagi rekan-rekan dan karyawan yang sudah matang. Dalam 10 tahun terakhir ini perguruan tinggi tempat aku bertugas terus tumbuh dan berkembang. Dan karena ada regulasi yang mengatur bahwa tenaga pengajar yang masih berpendidikan strata satu (S1), tidak boleh lagi mengajar mahasiswa S1 pada tahun 2014 mendatang , maka beramai-ramai lah rekan dosen mengajukan diri untuk kuliah kembali dan meningkatkan kompetensi dengan menempuh pendidikan strata 2 (S2).
Demam S2 ini ternyata berimbas pada karyawan-karyawan pula. Karena 60 % karyawan struktural adalah juga dosen, maka pada tahun-tahun mendatang akan ada tambahan pegawai struktural dengan gelar S2 dibelakang namanya. Mereka mau diapakan? Selain dioptimalkan sebagai dosen, inginnya tentu saja jenjang karier mereka akan naik seiring dengan kompetensi yang mereka miliki. Ambil kasus, seorang sarjana ekonomi (SE), mengambil S2 bidang Marketing, maka akan ada Magister Manajemen (Marketing), yang akan muncul di kampus ini. Jika diawal mereka hanya dioptimalkan sebagai dosen dan staff marketing, maka otomatis, PR besarnya adalah bagaimana mereka dipromosikan sebagai atasannya staff (katakanlah supervisor, kepala bagian, atau kepala biro marketing). Namun, atasan mereka sudah terlebih dahulu “bercokol” di tempat itu ternyata bergelar Sarjana Komputer, yang (dulunya) mereka nganclong di divisi marketing semata-mata karena belajar marketing secara otodidak, harus diapakan???. Jika si sarjana komputer ini ingin ditempatkan sesuai dengan kompetensinya, maka permasalahannya ternyata sudah ada yang menempati posisi tersebut (katakanlah posisi kepala bagian ICT Centre).
Pemindahan (mutasi, promosi, demosi), dll adalah hal yang biasa di perusahaan manapun. Namun entah kenapa, kadang-kadang aku melihat, di dunia pendidikan, pemindahan pejabat adalah sesuatu yang “tidak populer”. Mungkin ini lebih disebabkan budaya “tidak enak hati”. Kami berasal dari sebuah lembaga pendidikan kecil, yang karena concern terhadap mutu pendidikan, dan dicintai masyarakat tempat kami berdomisili (narsis.. :D) sehingga budaya “tidak enak hati” terus bercokol dalam benak kami. Orang-orang “lama” dan dikategorikan sebagai “perintis”, adalah JIMAT untuk kami dan biasanya memang susah sekali digeser karena rasa tidak enak hati tadi. Selain itu karena memang mereka bekerjanya professional dan menggunakan hati juga. Hal mana, mempergunakan hati adalah sesuatu yang sangat diharapkan di sebuah lembaga pendidikan, maka makin susahnya memetakan mereka harus berada dimana. (Oya, bagi yang enggak paham arti jimat, silahkan googling ya.. :D)
Naahhh… ribet dan melebihi benang kusut jadinya kan??
Untung itulah kita memerlukan seorang psikolog yang mumpuni di HRD untuk memetakan arah karier dengan mengadakan semacam psikotes blab la bla.. Selain itu karena di kampus kami ini ada sebuah biro yang membawahi bidang konseling mahasiswa, maka kami juga ingin sesekali mahasiswa yang memiliki masalah berat baik bersifat akademik maupun non akademik bisa berkonsultasi langsung dengan psikolog ini. Harapannya mahasiswa menjadi lebih puas karena bisa menemukan problem solving yang tepat untuk masalah-masalahnya. Dari sisi cost, akan sangat hemat manakala mahasiswa ini mempergunakan psikolog yang memang sudah dibayar oleh lembaga pendidikan kami ini.
Dan kembali lagi ke topik menunggu…
 Menunggu adalah sesuatu yang menjemukan. Namun ternyata jika disikapi dengan bijak, menunggu bisa menjadi sebuah ruang kosong diantara ruang dan waktu yang sibuk yang ternyata membawa manfaat untuk kita. Kita memiliki jeda untuk memikirkan hal-hal baru dan kreatif, serta melakukan pekerjaan lainnya. Inilah yang aku lakukan sembari menunggu si psikolog tersebut : Pengembangan konsep penciptaan mahasiswa dan alumni menjadi young entrepreneur aku lakukan dalam coret-coretan di agenda aku hanya 10 menit , menyelesaikan 10 dokumen disposisi dalam jangka waktu 20 menit, menandatangani berkas-berkas yang diletakkan oleh sekretarisku sejak beberapa hari lalu 5 menit, juga menandatangani sertifikat kegiatan pelatihan yang diadakan oleh mahasiswa selama 10 menit. Total waktu menunggu aku sementara ini 45 menit. Lumayan lama dan menjemukan jika aku hanya duduk-duduk berpangku tangan saja.
Itulah esensi menunggu yang bermanfaat…
Dan… aku juga sedang menerapkan proses menunggu ini di hatiku..
Aku menunggu perempuan yang paling tepat untuk hadir di dalam hatiku sejak tiga tahun lalu setelah hubunganku dengan partner berakhir di tahun ajaran 2009/2010 (dosen banget!!!). Selama tiga tahun itu, aku menunggu perempuan yang tepat sambil kuliah lagi, memetakan dan meraih jenjang karier yang aku inginkan. Hingga tibalah saat dimana aku memiliki partner baru di tahun 2013. Namun sayangnya hanya bertahan beberapa bulan saja karena ternyata kami tidak cocok satu sama lain (baca blog-blog aku yang mellow sebelum tulisan ini :D).
Dan tak ada pilihan lain… aku harus menunggu untuk memulihkan hati. Dan seperti kebiasaan yang sudah-sudah, aku sangat bersabar untuk menunggu. Karena aku bukan tipikal perempuan yang selalu tergesa-gesa dalam menentukan langkah.
Perempuan cantik yang dihadiahkan Tuhan untukku.. Siapapun kamu.. Aku bersedia menunggu untuk kehadiran kamu. Aku berharap ketika waktu-waktu menunggu ini berakhir, maka aku akan menemukan kamu dengan penuh kesabaran membimbingku, memberikan kenyamanan yang aku inginkan, menjadi teman dalam berdiskusi dan bercerita tentang banyak hal, menjadi pelipur lara , menjadi orang yang melihatku apa adanya tanpa “topeng”, menjadi teman cerita keseharianku yang harus selalu menahan diri didepan suami dan menampilkan kesan baik-baik saja kepada anak perempuanku.
Perempuan yang bisa menjadi pelabuhan hati. Tempat aku melabuhkan penat. Tempat aku bermanja dan menyalurkan naluri ingin memanjakan perempuan lain. Perempuan yang bersukacita menyediakan bahu untuk menangis sekaligus meminjam jemariku untuk mengusap air matanya karena aku tahu perempuan lesbian adalah makhluk yang paling sering menangis sedih karena harus menahan diri karena predikat lesbian yang harus disandangnya..
Aku bersedia menunggu untuk kamu wahai perempuan yang dihadiahkan Tuhan….
Hmmm… si psikolog sudah datang. Total menunggu sekitar 70 menit. Beberapa pekerjaan dan satu tulisan yang siap diposting di blog sudah aku selesaikan. :D (AW)

2 komentar:

  1. Subhanallah Bu, membaca tulisan ini semacam sedang membaca thesis, Bu Dosen memang pintar dalam komposisi bahasanya, nice writing ;>

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih will.. blog kamu juga berhasil membuat aku tak beranjak seharian. Tetap eksis sejak beberapa tahun lalu.. dan isinya makin 'kaya'

      Hapus